PKB Diusulkan Tiga Tahun Sekali
Salah satu peserta di Pesta Kesenian Bali 2010.
"Sebab, waktu setahun merupakan rentang waktu yang singkat bagi seniman untuk melahirkan sebuah mahakarya. Jadi tidak heran jika karya dan pertunjukan seni yang ditampilkan setiap tahun, terkesan monoton," katanya di Denpasar, Rabu.
Kalaupun ada karya seni baru, menurut dia, perubahan hanya sedikit saja dan itu pun selalu ada kemiripan dengan yang sudah ada sebelumnya," ujarnya.
"Hal itulah yang menyebabkan menurunnya minat masyarakat untuk mengunjungi pertunjukan seni budaya di PKB karena juga terkesan hanyalah pelaksanaan program rutinitas dari pemerintah daerah," ujarnya.
Menurut tokoh Puri Ubud ini, di Bali penyelenggaraan "Karya Gede" di Pura atau "Merajan" (tempat ibadah) dilakukan dalam jangka waktu tertentu, seperti lima tahun ataupun sepuluh tahun sekali, bukan setiap tahun.
"Bila PKB (Pesta Kesenian Bali) dilaksanakan seperti itu, hal ini akan sangat terasa berbeda sekali momentumnya, bahkan momennya sampai ditunggu-tunggu," tutur Tjokorda Raka Kerthyasa.
Dengan pelaksanaan PKB yang mengambil waktu seperti itu, masyarakat akan menunggu momentum acara PKB tersebut.
"Sebelumnya, pelaksanaannya diadakan di tingkat kabupaten/kota, puncaknya baru di tingkat provinsi. Jadi yang tampil di PKB nantinya merupakan mereka yang terbaik. Jadi, seniman juga punya waktu yang cukup panjang untuk menghasilkan sebuah karya yang baru, sehingga kehadirannya akan ditunggu-tunggu masyarakat," katanya.
Menurut Tjokorda Raka Kerthyasa yang akrab disapa Cok Ibah ini, pelaksanaan PKB saat ini lebih menonjol suasana komersialisasi ketimbang pelestarian budaya yang semestinya segera dibenahi.
Namun, menurut Cok Ibah, pihaknya tidak sepakat apabila unsur komersialisasi yang bisa membawa keuntungan ekonomis bagi seniman dan masyarakat dihapuskan begitu saja.
Dikatakan, seni budaya yang lahir dari cipta, rasa, dan karsa manusia mesti memberikan manfaat fisik bagi warga masyarakat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sebagai manusia dan peningkatan kesejahteraan.
"Sekarang tinggal bagaimana cara kita agar diatur serta dikelola secara bijak agar semuanya bisa berjalan selaras dan seimbang serta etis," kata pria yang juga anggota Komisi IV DPRD Bali tersebut.
Untuk itu, kata dia, dalam waktu dekat ini, pihaknya mengusulkan agar dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Mengkaji Pelaksanaan Pesta Kesenian Bali DPRD Bali.
"Nantinya pansus yang bertanggung jawab untuk membahasnya. Apakah PKB ini akan terus digelar setiap tahun atau bagaimana," ujarnya.
Ia berpendapat bahwa sebaiknya pelaksanaan PKB diselenggarakan setiap tiga tahun, bukannya setiap tahun.
Menyikapi pelaksanaan PKB yang selalu semrawut karena keterbatasan lahan yang ada di taman budaya (art center) saat ini, ia mengusulkan agar tempat pelaksanaan PKB tidak tersentralisasi di satu tempat, yakni Taman Budaya Denpasar.
"Pusatnya tetap di art center, tetapi pelaksanaan kegiatan disebar di beberapa lokasi umum yang tepat. Bukankah di Denpasar banyak tempat yang bisa digunakan untuk kegiatan pameran dan pertunjukan," kata Cok Ibah.
Tempat yang presentatif untuk pertunjukan, antara lain, Monumen Bajra Sandhi ataupun lapangan Puputan Badung. Sekarang tinggal bagaimana mengemas serta melakukan koordinasi yang baik dengan pihak terkait seperti Pemkot Denpasar.
"Misalnya, untuk pameran lukisan bisa digelar di Monumen Bajra Sandi dan pertunjukan topeng bisa ditampilkan di lapangan Puputan Badung atau di depan areal Pura Jagat Natha Denpasar," ucapnya.
Selain soal tempat, menurut dia, juga bisa mengurai persoalan parkir dan membeludaknya pengunjung di satu titik saja. Namun, hal perlu dipikirkan adalah bagaimana penyediaan sarana dan infrastruktur lain, seperti persiapan shuttle bus serta penjadwalannya.
"Karena di Denpasar ini kekacauan jalan tidak bisa dihindari lagi, seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil," kata Cok Ibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar